Membangunan Perbatasan Berbudaya Papua

Membangunan Perbatasan Berbudaya Papua

Oleh Harmen Batubara

Budaya Peramu dan Pendulang adalah sebuah pencapaian dalam bertranformasi. Budaya  cari makan secara meramu dan mendulang, menurut Koentjaraningrat masuk dalam unsur-unsur kebudayaan manusia universal. Masyarakat yang mendiami wilayah perbatasan Papua masih menganut “budaya peramu dan pendulang”, masuk dalam unsur-unsur kebudayaan universal. Meskipun termasuk unsur kebudayaan universal, namun masih berada pada kualitas primitif dalam sistem hidup berkelompok yang kecil-kecil dan belum masuk dalam kategori unsur-unsur kebudayaan industrial atau kebudayaan modern yang menggunakan teknologi. Dengan menggunakan penjelasan unsur-unsur kebudayaan univeral dari Koentjaraningrat itu maka masyarakat yang mendiami sepanjang wilayah perbatasan Papua-PNG jika dilihat dari aspek tahapan kemajuan peradaban manusia, masyarakat Papua itu baru sampai pada tahap peradaban transisi dari primitif menuju peradaban tradisional. Hal seperti ini, memerlukan strategi adaptasi.

Sepertiapa sih Budaya Papua dan bagaimana pula karakter kemiskinan di tanah Papua itu?[1]Karakter kemiskinan di Papua bersumber dari kultural atau budaya. Di Papuanilai sosial jauh lebih tinggi dari nilai ekonomi. Hampir setiap rumah di Papuabukan berisi keluarga inti, yaitu bapak, ibu dan anak. Setiap rumah berisikeluarga besar. Akhirnya gaji (pendapatan) tidak cukup untuk kebutuhan sebulan.Sistem budaya mengkondisikan bapa ade, ipar, mertua tinggal bersama; belum lagiacara adat yang melibatkan seluruh keluarga besar dengan biaya yang besar juga.Hasil pertanian yang seharusnya memiliki nilai ekonomi yang besar, akhirnyamenjadi tidak berharga, karena kerabat hasil pertanian ,dibagi bagikan akhirnyatidak ada pendapatan yang tetap dari masyarakat.

Baca Juga : Menjadi Penulis Pro Dengan Memanfaatkan Logika SEO

Menjadi orang Papua miskin di pegunungan tentu lebih sederhana bila dibandingkan dengan orang Papua miskin di daerah perkotaan.  Sebab meski tidak punya uang di pegunungan sepertinya tidak jadi persoalan. Karena yang jualan juga tidak ada. Berbeda dengan di Kota, semua serba harus beli. Bisa anda bayangkan hidup di kota tanpa uang di tangan. Untuk sekedar makan masih bisalah ngutang di warung tetangga, tetapi begitu ada yang sakit atau dapat musibah? Dunia jadi gelap. Untung sekarang  di era Jokowi-JK sudah ada BPJS, sudah ada kartu Pintar dan Kartu Sehat. Masalah seperti ini tentu berlaku di kota-kota seluruh Indonesia. Kalau di Bandung atau Jakarta, mereka masih bisa cari uang kontan lewat apa saja; misalnya jadi tukang pacul musiman. Mereka bawa pacul dan pergi ke kota, ada saja yang memerlukan jasanya. Satu minggu kemudian pulang ke kampungnya dan bawa uang.

Intinya sesungguhnya warga miskin itu perlu pekerjaan yang selalu bisa memberi mereka penghasilan, misalnya punya kebun karet. Kebun karet adalah ATM di perdesaan. Pagi mereka menyadap karet, siangnya sudah dapat uang. Apakah susah memberikan kebun karet pada warga Papua? Tanah luas, dana operasional ada dana Otsus ada dana dari Free Port dan sejenisnya. Buat pola Transmigrasi; tapi khusus orang lokal. Sediakan lahan @ dua hektar, siapkan lahannya, buatkan rumahnya; sediakan bibit; sediakan obat hama dan berikan mereka kebutuhan hidup selama satu tahun. Maka mereka akan jadi tuan bagi diri mereka sendiri. Apakah Pemda tidak bisa membuatkan mereka modal seperti ini? Sementara untuk anak-anak mereka diberikan kartu pintar dan kartu kesehatan ala Jokowi. Sungguh membangun negeri ini sebenarnya tidaklah susah. Pemda bisa melakukan itu. Hanya saja pemda sering berpikirnya lain.

Menurut penelitian kalangan Missionaris di Papua, Kebun karet cocok untuk menjadi tumpuan hidup warga Papua asli. Berbeda dengan kebun sawit, sawit adalah tanaman industri yang pengelolaannya ikut pola dan disiplin yang tinggi. Mulai dari pemberian obat hama, penyiangan rumput, dan pemetikan hasil semua sudah harus sesuai jadwal. Kalau tidak bisa merawatnya sesuai jadwal maka hasilnya akan busuk. Hal seperti ini, tidak cocok bagi warga Papua yang umumnya masih tradisional dan “malas”.

Kebun karet lain, dia tahan banting dan umumnya mudah di rawat. Demikian juga dengan cara memanennya. Kalau pagi misalnya hari hujan, nanti agak siangan masih bisa “menyadap” karetnya. Pengolahan hasilnya juga hampir tidak membutuhkan ketrampilan khusus. Siapapun bisa melakukannya. Itulah yang dilakukan Modestus  Kosnan (48) meski terlihat berpeluh di bawah terik mentari membalik-balik lembaran karet putih yang dijemur disamping rumahnya, tapi ia senang. “Syukur hari ini tak hujan. Saya bisa menjemur karet sampai kering,” katanya. Modestus adalah salah satu warga Erambu yang berkebun karet. Karet selama ini menjadi sumber penghasilan utama bagi Modestus dan keluarganya.

Program kebun rakyat ini, bila bisa dikembangkan diperkampungan warga; tetapi kalau tanahnya tidak terdukung maka dicarikan tanah-tanah di pinggir jalan trans Papua yang panjangnya 4500 km lebih itu. Intinya adalah memberikan dan mentransformasi kehidupan warga Papua dari yang selama ini berupa Peramu dan Pendulang jadi pekebun karet tradisional. Program ini perlu didukung dengan kartu pintar dan kartu sehatnya Jokowi, sehingga anak-anak mereka tetap bisa bersekolah meski kebun mereka belum berhasil. Dengan menanggung biaya hidup selama satu atau dua tahun diharapkan mereka bisa memadukan usaha kebun karetnya dengan kegiatan lain yang sifatnya masih sebagai peramu dan pendulang. Dengan tenggang waktu satu tahun, mereka diharapkan mampu beradaptasi dan melanjutkan kehidupannya selama tiga tahun ke depannya sampai karetnya bisa di sadap. Kalau ini bisa diwujudkan maka warga Papua akan bisa bertransformasi jadi warga kelas dunia kerja yang tidak lagi hanya sebagai seorang peramu dan pendulang.

Strategi Adaptasi Pembangunan Kawasan Perbatasan

Menganalisa lebih jauh tentang “strategi adaptasi” dalam konteks warga Papua di perbatasan yang ada saat ini, maka penguatan kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM) perbatasan menjadi salah satu hal mendasar yang perlu diprioritaskan. Agenda penguatan kapasitas SDM dalam “strategi adaptasi” ini akan menopang terwujudnya keunggulan dari masyarakat maupun daerah perbatasan. Berbicara lebih jauh tentang SDM ini, maka peran pendidikan dan pelatihan menjadi sebuah titik konsentrasi yang fundamental untuk dikembangkan dan diberdayakan guna meningkatkan kualitas dari SDM perbatasan itu sendiri.

Pendidikan menjadi pilar utama dan pemamfaatan teknologi Tepat Guna menjadi suatu pilihan yang mampu membekali SDM perbatasan. Bahkan, melalui pendidikan, SDM perbatasan diproyeksikan untuk mampu membangun diri dan daerahnya sendiri di mana nantinya dapat mendukung proses perwujudan competitiveness yang diagendakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah. Teknologi tepat guna di tengah budaya peramu bisa di contohkan seperti berkebun karet rakyat, berkebun Pinang dan mengolah Pohon Sagu. Untuk agenda pendidikan, ada dua opsi yang perlu dijadikan pertimbangan, di mana di antaranya adalah pengembangan pendidikan yang berorientasi kepada kearifan local yang berlaku, pengembangan pendidikan dengan mengirimkan SDM di wilayah perbatasan untuk belajar di luar daerahnya atau bila perlu ke negeri tetangga. Sehingga mereka bisa merasakan sendiri manfaatnya.

Baladaorang Papua  menjadi pendatang baru diatas Tanahnya Sendiri sebenarnya adalah bagian dari proses adaftasi itusendiri. Hampir semua bangsa pribumi mengalami hal seperti itu. Hal serupa itukita bisa temui di Jawa pada awal tahun 70 an, yang lebih dikenal denganistilah “Ali Baba”. Maknanya yang punya adalah Ali (pribumi) tapi yangmengoperasikannya adalah Baba (pendatang, turunan tionghoa). Hal seperti ituterjadi juga di Malaysia Dll. Persoalan yang satu ini cukup rumit bagi siapapundi Papua Kita bisa lihat contoh, bahwa beberapa pasar yang sudah dibangun di sana, setelah selesai kemudiansering terjadi tidak berfungsi sama sekali. Lalu ada juga pasar yang sudah dibangun itu, tetapi sama sekali tidakmengakomodir masyarakat asli Papua untuk berjualan di situ. Tidak adamasyarakat asli Papua yang berjualan di situ. Lalu mereka mengatakan bahwa  “mereka menjadi pendatang baru di atastanahnya sendiri”. Padahal bisa terjadi, awalnya mereka punya toko, merekamemang diberi jatah; tetapi kemudian tidak punya modal dan tidak punyakemampuan; kemudian Toko pindah tangan dengan cara illegal, mereka menjualnya,mereka dapat uang tapi kemudian tersisih. 

Baca Pula : Membangun Blog Bisnis, Jual Kemampuan Membangun Bisnismu   

Sesungguhnya hal seperti ini bukanlah monopoli Papua, di Jawa dan Sumatera atau dimana saja hal seperti ini pernah terjadi. Putra daerah biasanya tidak atau belum mempunyai kemampuan untuk mengelola usaha. Umumnya dahulu istilahnya Ali Baba, maksudnya yang punya atau pemilik adalah orang pribumi atau daerah tetapi yang mengoperasional kannya adalah warga keturunan Tionghoa atau pendatang lainnya. Hal seperti ini terjadi bertahun-tahun dan itu bisa dimana saja dan bila tidak bisa dikelola dengan baik maka ia akan menjadi sumber kecemburuan sosial. Jadi sesungguhnya yang terjadi di Papua ini juga adalah sesuatu yang alami sesuai dinamika perubahan itu sendiri. Hanya saja memang kemudian lalu dibesar-besarkan.

Pernah dengar Budaya Proposal Ala Papua. Budaya Apapula itu? Inilah salah satu sisi lain yang memprihatinkan dari Otonomi daerah.  Mari kita dengarkan penuturan Gubernur Papua Lukas Enembe SIP, MH. Menurutnya  masyarakat Papua masih hidup dalam kemiskinan dan ketergantungan, mereka belum bisa menolong dirinya sendiri.  Kemampuan mereka hidup sangat bergantung dari kebijakan pemerintah baik pusat, maupun daerah dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota.

Perubahan baru yang sangat merisaukan adalah “ cara hidup masyarakat Papua hidup dengan budaya proposal ”. Budaya proposal sudah menjadi budaya baru, “sehingga setiap kepemimpinan pasti selalu memiliki pengalaman yang sama. Karena itu, beberapa waktu lalu saya telah membakar kurang lebih 20 ribu proposal yang telah dimasukan ke Pemerintah Provinsi Papua[2] Gubernur menuturkan, keputusannya untuk membakar seluruh proposal tersebut  sudah melalui perang bathin yang luar biasa dalam hatinya, Gubernur berdoa pada Tuhan meminta kekuatan agar dapat menyelamatkan masyarakat Papua sehingga mereka terbebas dari rasa ketergantungan yang tinggi terhadap kebijakan pemerintah, yang pada akhirnya akan menyusahkan dan melemahkan kekuatan dirinya. ‘’Keinginan saya adalah masyarakat Papua dapat keluar dari ketergantungan terhadap kebijakan pemerintah, menggali dan mengelola potensi yang ada pada mereka dan sekitar mereka agar dapat bermanfaat bagi kehidupann mereka,’’ Ujarnya waktu itu.

Dikatakannya, Tanah Papua adalah surga yang jatuh di bumi, hitam kulit keriting rambut adalah kebanggaan dan kekuatan kami, dan ini adalah anugerah dari Tuhan yang maha kuasa untuk kita syukuri dan kita Jaga. Lanjutnya, Kenapa kehidupan di Papua yang ibarat surga tersebut tidak memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat, sehingga melemahkan semangat hidup mereka dan menciptakan berbagai kultur yang baru yang terangkat dari sebuah ketidak seriusan mereka dalam menghargai dan menjaga identitas dirinya sebagai masyarakat bangsa dan Negara yang pluralistik ini.

Seperti yang dikatakan Enembe, berat memang untuk mengubah kultur Papua yang kesemuanya penuh ketergantungan, tapi sang Gubernur tetap akan bekerja keras selama masa kepemimpinannya agar masyarakat Papua dapat Bangkit dan Mandiri serta Sejahtera. Harapan ini tidak muluk-muluk sebab banyak langkah konkrit dan strategis yang sedang  diperjuangkan dan laksanakan sesuai dengan visi misi Gubernur Papua Bangkit Mandiri dan Sejahtera. “Sang Gubernur selalu mengingatkan kepada semua komponen masyarakat di Papua, baik aparatur pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, adat serta komponen lainnya untuk selalu bekerja dengan hati, dengan penuh kerendahan serta jujur maka Tuhan akan memberkati masyarakat dan tanah Papua.


[1] Saya lalu ingat klipping saya tentang kemis kinan di Papua. Pada tahun 2008 ada wawancara wartawati Jubi Angle Flassy dengan Dr Dirk Veplum, MS . Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cendera wasih tentang bagaimana karakter kemiskinan di tanah Papua dan hemat saya masih relevan untuk dipergunakan melihat kemiskinan di Papua saat ini.

[2] Ungkap Gubernur dalam sambutan tertulis yang disampaikan Asisten Bidang Umum Sekda Papua, Recky Ambrauw, pada pembukaan Musyawarah Daerah I Jaringan Aksi Perubahan Indonesia (JAPI), Rabu (2/10/2013) di Diklat Sosial Abepura waktu itu.

Kesejahteraan Warga Papua Di Tengah Pembangunan

Kesejahteraan Warga Papua Di Tengah Pembangunan

Oleh Harmen Batubara

Pembangunan itu membutuhkan infrastruktur lengkap dengan budayanya, mau tidak mau dia akan menggerakkan kehidupan warga yang ada. Apapun itu adanya. Persoalannya kalau warga itu masih dalam tahapan masyarakat peramu dan pemburu maka yang timbul adalah kehawatiran. Kehawatiran bahwa pembangunan itu justeru hanya akan menyingkirkan warga yang akan dibangun itu. Sesuatu yang sangat rasional. Hal seperti ini akan selalu berulang. Hal seperti itulah yang disampaikan Cahyo Pamungkas saat peluncuran buku Pembangunan, Marginalisasi, dan Disintegrasi Papua secara daring, Jumat (11/9/2020). Buku yang diterbitkan oleh Imparsial, TIFA, Forum Akademisi Papua Damai, dan Parahyangan Centre for Democracy and Peace Studies ini menggarisbawahi pentingnya dialog untuk menjembatani perbedaan persepsi tersebut.

Mensejahterakan Warga Papua Di Tengah Pembangunan
Mensejahterakan Warga Papua Di Tengah Pembangunan

Tidak ada yang baru di sana, kecuali persepsi orang atas ajakannya untuk “berdialog”. Entah apa maksudnya. Pembangunan itu memang pembawa perubahan, dan bagi mereka yang tidak bisa berubah pasti tertinggal dan ditinggalkan. Sepintas memang kejam, tetapi itulah kenyataan. Tidak ada pembangunan yang “TAYLOR MADE” sesuai dengan keadaan warganya, karena pembangunan itu adalah pembawa perubahan terbaru pada zamannya, perubahan zaman ke arah yang lebih rasional sesuai tuntutan zaman. Bagaimanakah pembangunan yang cocok untuk warga tradisional yang masih dalam tahap peramu dan pemburu? Pertama berdayakan warganya, dan teruskan pembangunan infrastrukturnya. Keduanya diserasikan. Sederhana dan tidak perlu mutar-muter.

Budaya Peramu dan Pendulang adalah sebuah pencapaian dalam bertranformasi. Budaya  cari makan secara meramu, berburu dan mendulang, menurut Koentjaraningrat masuk dalam unsur-unsur kebudayaan manusia universal. Masyarakat yang mendiami wilayah perbatasan dan pedalaman Papua masih menganut “budaya peramu dan pendulang”. Meskipun termasuk unsur kebudayaan universal, namun masih berada pada kualitas primitif dalam sistem hidup berkelompok yang kecil-kecil dan belum masuk dalam kategori unsur-unsur kebudayaan industrial atau kebudayaan modern yang menggunakan teknologi. Masyarakat Papua itu khususnya yang diperbatasan dan pedalaman baru sampai pada tahap peradaban transisi dari primitif menuju peradaban tradisional. Hal seperti ini, memerlukan strategi adaptasi.

Baca  Juga  :  Membangunan Perbatasan Berbudaya Papua

Seperti apa Budaya Papua dan bagaimana pula karakter kemiskinan di tanah Papua itu?[1] Karakter kemiskinan di Papua bersumber dari kultural atau budaya. Di Papua nilai sosial jauh lebih tinggi dari nilai ekonomi. Hampir setiap rumah di Papua bukan berisi keluarga inti, yaitu bapak, ibu dan anak. Setiap rumah berisi keluarga besar. Akhirnya gaji (pendapatan) tidak cukup untuk kebutuhan sebulan. Sistem budaya mengkondisikan bapa ade, ipar, mertua tinggal bersama; belum lagi acara adat yang melibatkan seluruh keluarga besar dengan biaya yang besar juga. Hasil pertanian yang seharusnya memiliki nilai ekonomi yang besar, akhirnya menjadi tidak berharga, karena kerabat hasil pertanian ,dibagi bagikan akhirnya menjadi tidak mencukupi.

Menjadi orang Papua miskin di pegunungan tentu lebih sederhana bila dibandingkan dengan orang Papua miskin di daerah perkotaan.  Sebab meski tidak punya uang di pegunungan sepertinya tidak jadi persoalan. Karena yang jualan juga tidak ada. Berbeda dengan di Kota, semua serba harus beli. Bisa anda bayangkan hidup di kota tanpa uang di tangan. Untuk sekedar makan masih bisalah ngutang di warung tetangga, tetapi begitu ada yang sakit atau dapat musibah? Dunia jadi gelap. Untung sekarang  di era Jokowi sudah ada BPJS, sudah ada kartu Pintar dan Kartu Sehat. Masalah seperti ini tentu berlaku di kota-kota seluruh Indonesia. Kalau di Bandung atau Jakarta, mereka masih bisa cari uang kontan lewat apa saja; misalnya jadi tukang pacul musiman. Mereka bawa pacul dan pergi ke kota, ada saja yang memerlukan jasanya. Satu minggu kemudian pulang ke kampungnya dan bawa uang.

Membangun warga Papua asli sebenarnya sama maknanya dengan menjadikan warga Papua yang masih hidup dengan pola Meramu dan Berburu (Mendulang) di daerah perbatasan, pedalaman dan warga pekerja serabutan di perkotaan. Mereka membutuhkan sesuatu yang bisa menghasilkan lewat bertani (di pedesaan_ dan punya ketrampilan di perkotaan). Intinya sesungguhnya warga miskin itu perlu pekerjaan yang selalu bisa memberi mereka penghasilan, misalnya punya kebun karet. Kebun karet adalah ATM di perdesaan. Pagi mereka menyadap karet, siangnya sudah dapat uang. Apakah susah memberikan kebun karet atau kebun Kopi pada warga Papua? Tanah luas, dana operasional ada dana Otsus ada dana lainnya. Buat pola Transmigrasi; tapi khusus orang lokal. Sediakan lahan @dua hektar, siapkan lahannya, buatkan rumahnya; sediakan bibit; sediakan obat hama dan berikan mereka kebutuhan hidup selama satu tahun. Didik mereka agar jadi petani Karet, petani Kopi yang baik. Maka mereka akan jadi tuan bagi diri mereka sendiri. Apakah Pemda tidak bisa membuatkan mereka modal seperti ini? Sementara untuk anak-anak mereka diberikan kartu pintar dan kartu kesehatan ala Jokowi. Sungguh membangun negeri ini sebenarnya tidaklah susah. Pemda bisa melakukan itu. Hanya saja pemda sering berpikirnya terlalu rumit dan terlalu jauh.

Menurut penelitian kalangan Missionaris di Papua, Kebun karet cocok untuk menjadi tumpuan hidup warga Papua asli. Berbeda dengan kebun sawit, sawit adalah tanaman industri yang pengelolaannya ikut pola dan disiplin yang tinggi. Mulai dari pemberian obat hama, penyiangan rumput, dan pemetikan hasil semua sudah harus sesuai jadwal. Kalau tidak bisa merawatnya sesuai jadwal maka hasilnya akan busuk. Hal seperti ini, tidak cocok bagi warga Papua yang umumnya masih tradisional dan “malas”.

Kebun karet lain, dia tahan banting dan umumnya mudah di rawat. Demikian juga dengan cara memanennya. Kalau pagi misalnya hari hujan, nanti agak siangan masih bisa “menyadap” karetnya. Pengolahan hasilnya juga hampir tidak membutuhkan ketrampilan khusus. Siapapun bisa melakukannya. Itulah yang dilakukan Modestus  Kosnan (48) meski terlihat berpeluh di bawah terik mentari membalik-balik lembaran karet putih yang dijemur disamping rumahnya, tapi ia senang. “Syukur hari ini tak hujan. Saya bisa menjemur karet sampai kering,” katanya. Modestus adalah salah satu warga Erambu yang berkebun karet. Karet selama ini menjadi sumber penghasilan utama bagi Modestus dan keluarganya.

Atau cobalah ke daerah-daerah penghasil Kopi di Papua, Anda akan tahu bahwa sebagaian warga Papua sudah trampil berkebun Kopi dan punya penghasilan dari sana. Misalnya kopi Baliem[2] atau Kopi Wamena. Jelasnya di Papua  terdapat beberapa daerah  kopi dan sudah dikembangkan sejak jaman Belanda. Ada juga Kopi Timika yang tersebar di wilayah suku Amungme yakni di daerah Hoea, Tsinga, Utekini, dan Aroanop.  Juga ada Kopi Nabire. Kopi Nabire lebih banyak tersebar di daerah Paniay dan Deiyai. ada lagi kopi Arfak dan Kebar di Manokwari dan Kopi Kaimana. Kopi berikutnya adalah Kopi Dogiyai, biasanya ditanam di sekeliling lembah Kamuu yang berada di pegunungan Mapia, di Kabupaten Dogiyai. dikenal sebagai biji kopi dogiyai, atau ‘Kopi Moanemani’.  Bisa dibayangkan kalau Pemda mempunyai program kerja yang bisa mempasilitasi agar warga Papua bisa punya kebun Kopi.

Strategi Adaptasi Pembangunan

Menganalisa lebih jauh tentang “strategi adaptasi” dalam konteks warga Papua di perbatasan, di pedalaman yang ada saat ini, maka penguatan kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM) menjadi salah satu hal mendasar yang perlu diprioritaskan. Agenda penguatan kapasitas SDM dalam “strategi adaptasi” ini akan menopang terwujudnya keunggulan dari masyarakat maupun daerahnya khususnya perbatasan dan pedalaman. Kalau hal itu yang dibicarakan, maka peran pendidikan dan pelatihan menjadi sebuah titik konsentrasi yang fundamental untuk dikembangkan. Pendidikan yang mereka butuhkan, bukanlah pendidikan formal biasa seperti yang sudah kita kenal, tetapi pendidikan yang bisa membarikan mereka Kebun, bisa membuat mereka kemampuan untuk mengelolanya dan bisa memasarkan hasilnya, hingga mereka bisa hidup dari karyanya.

Pendidikan seperti itu menjadi pilar utama dengan pemamfaatan teknologi Tepat Guna menjadi suatu pilihan yang mampu membekali SDM perbatasan, pedesaan pedalaman. Pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk pembukaan kebun karet, kopi atau Sagu seara tuntas sehingga mereka mampu mengelolanya. Dipercaya melalui pendidikan seperti ini, SDM perbatasan, pedesaan pedalaman diproyeksikan untuk mampu membangun diri dan daerahnya sendiri di mana nantinya dapat mendukung proses perwujudan kemandirian yang diagendakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah. Teknologi tepat guna di tengah budaya peramu bisa di contohkan seperti berkebun karet rakyat, berkebun Pinang dan mengolah Pohon Sagu. Untuk agenda pendidikan ini, ada dua opsi yang perlu dijadikan pertimbangan, di mana di antaranya adalah pengembangan pendidikan yang berorientasi kepada kearifan lokal yang berlaku. Bisa juga dengan mengirimkan SDM ini untuk belajar di luar daerahnya ke Pemda tetangganya yang sudah lebih manu. Sehingga mereka bisa merasakan sendiri manfaatnya.

Baca   Juga   : BumDes & BumNas Sinergis Rakyat Sejahtera

Balada orang Papua  menjadi PENDATANG BARU DIATAS TANAHNYA Sendiri sebenarnya adalah bagian dari proses adaftasi itu sendiri. Hampir semua warga pribumi mengalami hal seperti itu. Hal serupa itukita bisa temui di Jawa pada awal tahun 70 an, yang lebih dikenal denganistilah “Ali Baba”. Maknanya yang punya adalah Ali (pribumi) tapi yangmengoperasikannya adalah Baba (pendatang, turunan tionghoa). Hal seperti ituterjadi juga di Malaysia Dll. Persoalan yang satu ini cukup rumit bagi siapapun di Papua Kita bisa lihat contoh, bahwa beberapa pasar yang sudah dibangun di sana, setelah selesai kemudian sering terjadi tidak berfungsi sama sekali. Lalu ada juga pasar yang sudah dibangun itu, tetapi sama sekali tidakmengakomodir masyarakat asli Papua. Lalu mereka mengatakan bahwa  “mereka menjadi pendatang baru di atas tanahnya sendiri”. Padahal, awalnya mereka punya toko, mereka memang diberi jatah; tetapi kemudian tidak punya modal dan tidak punya kemampuan; kemudian Toko pindah tangan dengan cara illegal, mereka menjualnya,mereka dapat uang tapi kemudian tersisih.

Hal lain yang menarik dengan Papua adalah “Budaya Proposal”. Pernah dengar Budaya Proposal Ala Papua[3]. Budaya Apapula itu? Inilah salah satu sisi lain yang memprihatinkan. Mari kita dengarkan penuturan Gubernur Papua Lukas Enembe SIP, MH. Menurutnya  masyarakat Papua masih hidup dalam kemiskinan dan ketergantungan, mereka belum bisa menolong dirinya sendiri.  Kemampuan mereka hidup sangat bergantung dari kebijakan pemerintah baik pusat, maupun daerah dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota.

Perubahan baru yang sangat merisaukan adalah “ cara hidup masyarakat Papua hidup dengan budaya proposal ”. Budaya proposal sudah menjadi budaya baru, “sehingga setiap ganti kepemimpinan pasti selalu memiliki pengalaman yang sama. Karena itu, beberapa waktu lalu saya telah membakar kurang lebih 20 ribu proposal yang telah dimasukan ke Pemerintah Provinsi Papua[4]. Gubernur menuturkan, keputusannya untuk membakar seluruh proposal tersebut  sudah melalui perang bathin yang luar biasa dalam hatinya, Gubernur berdoa pada Tuhan meminta kekuatan agar dapat menyelamatkan masyarakat Papua sehingga mereka terbebas dari rasa ketergantungan yang tinggi terhadap kebijakan pemerintah, yang pada akhirnya akan menyusahkan dan melemahkan kekuatan dirinya. ‘’Keinginan saya adalah masyarakat Papua dapat keluar dari ketergantungan terhadap kebijakan pemerintah, menggali dan mengelola potensi yang ada pada mereka dan sekitar mereka agar dapat bermanfaat bagi kehidupann mereka,’’ Ujarnya waktu itu. Budaya Proposal ini telah membuat ketergantungan dan pengharapan kepada pemimpinnya dengan cara yang kurang mendidik, Karena memang tidak lebih dari “memintak belas kasihan”, meminta sumbangan demi kepentingan keluarga dan diri pribadi kepada Putra daerah yang jadi Pemimpin mereka. Mereka merasa karena dukungannya maka sang peminpin akan hidup senang dan jadi peminpi mereka. Tentu tidak ada salahnya memintak bantuannya.

Seperti yang dikatakan Enembe, berat memang untuk mengubah kultur Papua yang kesemuanya penuh ketergantungan, tapi sang Gubernur tetap akan bekerja keras selama masa kepemimpinannya agar masyarakat Papua dapat Bangkit dan Mandiri serta Sejahtera. Harapan ini tidak muluk-muluk sebab banyak langkah konkrit dan strategis yang sedang  diperjuangkan dan laksanakan sesuai dengan visi misi Gubernur Papua Bangkit Mandiri dan Sejahtera. “Sang Gubernur selalu mengingatkan kepada semua komponen masyarakat di Papua, baik aparatur pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, adat serta komponen lainnya untuk selalu bekerja dengan hati, dengan penuh kerendahan serta jujur maka Tuhan akan memberkati masyarakat dan tanah Papua.

[1] Saya lalu ingat klipping saya tentang kemis kinan di Papua. Pada tahun 2008 ada wawancara wartawati Jubi Angle Flassy dengan Dr Dirk Veplum, MS . Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cendera wasih tentang bagaimana karakter kemiskinan di tanah Papua dan hemat saya masih relevan untuk dipergunakan melihat kemiskinan di Papua saat ini.

[2] https://www.omiyago.com/kopi-nusantara/550-omiyago-kopi-papua-baliem-100-gr

[3] Disebut Budaya Proposal, biasanya dalam setiap muncul kepeimpinan Baru (Gubernur, Bupati,Walikota) maka banyak warga (yang merasa “dekat” dengannya) mengajukan proposal untuk membangun sesuatu, bisa untuk ternak babi, bisa untuk menyekolahkan anak, bisa untuk memperbaiki rumah dll jumlah proposal itu bisa mencapai 20 ribuan.

[4] Ungkap Gubernur dalam sambutan tertulis yang disampaikan Asisten Bidang Umum Sekda Papua, Recky Ambrauw, pada pembukaan Musyawarah Daerah I Jaringan Aksi Perubahan Indonesia (JAPI), Rabu (2/10/2013) di Diklat Sosial Abepura waktu itu.

Semangat Membangun Perbatasan, Beranda Depan Bangsa

Semangat Membangun Perbatasan, Beranda Depan Bangsa

Oleh : Harmen Batubara

Jauh sebelum NKRI lahir, wilayah nusantara sudah dihuni oleh berbagai etnis sesuai dengan wilayahnya masing-masing. Hidup mereka rukun tidak mengenal batas, sejauh lingkungannya memberikan kehidupan dan mereka mampu maka disanalah mereka tinggal. Tetapi zaman berubah dan peradaban menuntut adanya administrasi, maka semuanya harus turut aturan, termasuk di dalamnya aturan tentang batas-batas wilayah itu sendiri.Maka sesuai dengan kepentingan kolonial ketika itu, khususnya di wilayah Kalimantan ( traktat Belanda dan Inggris 1891,1915 dan 1928), Papua( Traktat Raja Prusia 1854) dan Timor Leste (Belanda-Portugis, 1904). Para penguasa itu menentukan batas-batas wilayah sesuai posisi tawar mereka sendiri.

Paket Tiga Buku Catatan Blog Seorang Prajurit Perbatasan
Paket Tiga Buku Catatan Blog Seorang Prajurit Perbatasan

Secara teoritis baik Belanda, Inggris dan Portugis dalam penetapan batas wilayah mempertimbangkan kondisi geografisnya, batas yang mereka tentukan pada umumnya mengikuti batas alam seperti Punggung Gunung (watershed), pinggir sungai, thalweg atau alur sungai terdalam, dan garis lurus.

Secara teoritis baik Belanda, Inggris dan Portugis dalam penetapan batas wilayah mempertimbangkan kondisi geografisnya, batas yang mereka tentukan pada umumnya mengikuti batas alam seperti Punggung Gunung (watershed), pinggir sungai, thalweg atau alur sungai terdalam, dan garis lurus. Meskipun mereka ingin menentukan batas sesuai dengan realitas etnis, tetapi secara teknis pada saat itu tidak mungkin dilakukan, sebab keadaan medannya yang berat. Sehingga yang terjadi kemudian, batas-batas wilayah itu secara telak bisa memisahkan dua suku serumpun. Hal seperti itu terjadi di Kalimantan, di Papua, dan Timor Leste.

Dalam realitasnya kehidupan mereka tetap rukun, terjalin keharmonisan dengan baik. Bagi mereka realitas batas tidaklah mempunyai kendala bagi kehidupan sosial mereka. Ratusan tahun kemudian NKRI lahir, dan secara otomatis dan sesuai dengan prinsip “UTI POSSIDETIS JURIS” atau pewarisan wilayah pemerintah kolonial kepada Negara baru selepas penjajahannya, maka Indonesia mempunyai wilayah perbatasan dengan sepuluh Negara tetangganya. Bagi Indonesia karena luasnya wilayah, dan beberapa daerah dan pulau-pulau kecil lokasinya terisolasi, secara otomatis wilayah perbatasan nyaris kurang diperhatikan.

Baca Juga   :  Wilayah Perbatasan, Beranda Depan Bangsa

Meskipun secara sadar mengakui bahwa wilayah perbatasan adalah cerminan kualitas kedaulatan suatu Negara, dan meski memprogramkannya sebagai halaman depan bangsa, tapi dihadapkan dengan keterbatasan yang ada wilayah perbatasan tetap saja tidak terjangkau oleh pembangunan sebagaimana mestinya. Terlebih lagi UU yang didesain untuk mengatur pembangunan wilayah, seperti UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemda UU No.26 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang, ternyata belum mampu mengubah image wilayah perbatasan. Pemerintah daerah yang tadinya diharapkan mau memberikan perhatian, tetapi ternyata prioritas pembangunannya bukanlah di wilayah perbatasan. Mereka juga tidak mampu menghadapi terisolasinya perbatasan.

Namun demikian kedua Negara bertetangga secara sadar sama-sama mengetahui, dan memahami bahwa wilayah perbatasan perlu ditata, dengan tetap memberikan ruang gerak dan keleluasan yang wajar bagi kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan. Semua itu secara utuh tercermin dalam semangat kerjasama antara Negara tetangga seperti GBC (General Border Committee, Indonesia-Malaysia), JBC(Joint Border Committee, Indonesia-Papua Nugini, dan Indonesia-Timor Leste), yang secara konkrit selalu memperhatikan kehidupan dan kerukunan berbagai etnis yang sama-sama ada di wilayah perbatasan.

Kini wilayah perbatasan sudah sangat berbeda

Sebelum pemerintahan Jokowi-JK, wilayah perbatasan adalah daerah kumuh, terisolasi, para petugas perbatasan hanya ada namanya saja tetapi secara fisik mereka berada di Kabupaten. Yang kita temukan di perbatasan hanyalah plang-plang nama Kementerian/Lembaga, tetapi sama sekali tidak ada kehidupan di sana. Tetapi gambaran seperti itu sudah berlalu. Pemerintah Jokowi-JK membuka isolasi perbatasan dengan visi : membuka jalan raya parallel perbatasan, membangun kembali serta memfungsikan kembali 9 PLBN dengan berbagai sarana penunjang perekonomian, memastikan route Tol Laut bisa melintasi perbatasan agar semua produk Indonesia dari Pusat –pusat Bisnis Indonesia bisa sampai di daerah perbatasan dengan biaya terjangkau. Listrik dan Telekomunikasi tersedia dan masih banyak lagi upaya pemerintah untuk memastikan produk-produk Indonesia bisa unggul di perbatasan.

Membangun Jalan Hingga ke Ujung Perbatasan   Pembangunan 1.920 km jalan paralel perbatasan di Kalimantan ditarget tuntas pada tahun 2019[1]. Pemerintah menargetkan tak ada lagi jalan paralel perbatasan Kalimantan yang belum tembus di 2019 nanti. Setidaknya ada lima paket pekerjaan pelebaran jalan akses yang sedang dikerjakan menuju tiga lokasi pos lintas batas negara (PLBN) Indonesia-Malaysia. Di antaranya paket Pembangunan Jalan Galing-Simpang Tanjung-Aruk, pelebaran Jalan Simpang Tanjung-Aruk II, pelebaran Jalan Batas Serawak-Entikong-Balai Karangan-Kembayan, pelebaran Jalan Nanga Badau-Lanjak, pelebaran Jalan Nanga Badau-Batas Serawak dan pelebaran Jalan Nanga Batas Serawak-Nanga Badau.

Membangun Wilayah Perbatasan
Membangun Wilayah Perbatasan

Untuk paket pekerjaan ruas Galing-Simpang Tanjung-Aruk dan Nanga Badau-Lanjak sudah selesai per akhir 2017 lalu. Sedangkan sisanya saat ini masih dalam pembangunan dan ditargetkan selesai pada akhir tahun ini.  “Semoga tidak ada kendala cuaca, alat, yang mengganggu keamanan dan lain-lain,” ucap Sugiyartanto. Kehadiran jalan perbatasan sekaligus melengkapi pembangunan PLBN yang sudah dibangun dan diharapkan bisa menjadi gerbang ekspor produk-produk  lokal Indonesia menuju negara tetangga.

Pemerintah juga tengah memperluas pungsi PLBN untuk merangsang pertumbuhan sector ekonomi. Dirjen Cipta Karya Kemenpupera, Sri Hartoyo mengatakan, pihaknya akan kembali melakukan pembangunan PLBN (Pos Lintas Batas Negara) Aruk untuk tahap kedua[2] dengan anggaran pembangunan sebesar Rp201 miliar lebih. “Untuk pembangunan PLBN tahap kedua pada PLBN Aruk ini sifatnya melengkapi dari pembangunan PLBN tahap pertama,” kata Sri Hartoyo waktu itu. Dijelaskannya, untuk rencana pembangunan PLBN Aruk untuk tahap kedua pada zona inti akan dibangun “Car Wash”, sementara pada sub zona inti akan dibanun mes pegawai tipe 45, 54 dan 75. Kemudian pada zona pendukung juga akan dibangun pasar perbatasan, wisma Indonesia, gedung serbaguna, food court, masjid, gereja dan pasar pendukung.

Untuk pengembangan PLBN tahap kedua ini akan dibangun di luasan area 17,79 hektare dan luas bangunan 4.441,00 meter persegi. Waktu pelaksanaannya akan segera dimulai dan ditargetkan rampung pada akhir 2018 mendatang. “Sementara anggaran yang dikeluarkan guna pembangunan PLBN tahap kedua ini sebesar Rp201 miliar lebih,” katanya. Sri Hartono menambahkan, untuk pembangunan PLBN Aruk ini menggunakan konsep desain arsitektur tradisional rumah panjang yang merupakan rumah adat dari masyarakat adat setempat. Sedangkan pada ornamen bangunan utama mengadopsi corak tradisional Dayak.

Baca Juga  : Memilih Model Bisnis Online, Ciptakan Peluangmu 

Demikian pula Tol laut terus berkembang dan menurut Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi, saat ini jumlah trayek tol laut sudah semakin bertambah. Sejak awal dicanangkan, proyek yang menjadi cita-cita Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini semakin menunjukkan peningkatan. Dari sebelumnya hanya sekitar tujuh trayek, kini sudah bertambah enam trayek menjadi sekitar 13 trayek dan pada 2018 akan jadi 15 Trayek. “Tol laut itu kita sekarang ada tujuh lintasan, terus kita tambah lagi enam lintasan,” katanya di Gedung BPPT, Jakarta, Senin (31/7/2017). Proyek tol laut diprioritaskan untuk wilayah Indonesia bagian Timur. Namun, terdapat beberapa wilayah di barat, salah satunya  Sumatera dan Natuna. “Terutama Indonesia bagian timur. Jadi, dari 12 sampai 13 rute itu, kira-kira 12 rute untuk timur. Yang ke barat itu untuk Sumatera bagian timur, dan yang kedua ke Natuna,” tuturnya.

Pemerintah Juga Menyalurkan Dana Desa   Pemerintah tidak berhenti hanya sampai di situ. Pemerintah memastikan agar seluruh Desa di Indonesia mempunyai program untuk mengembangkan Desa mereka. Politik fiskal digeser dengan memberikan instrumen “dana transfer” ke desa, yang disebut dana desa (DD). Desa yang telah memiliki otoritas menjadi lebih bertenaga karena bisa mengelola anggaran sendiri (anggaran pendapatan dan belanja desa/APBDesa) dengan salah satu sumbernya dari DD (di samping enam sumber lain). Pada 2015 total DD Rp 20,7 triliun (dibagi ke 74.093 desa); 2016 sebanyak Rp 46,9 triliun (dibagi ke 74.754 desa); dan pada 2017 ini akan disalurkan Rp 60 triliun (dibagi ke 74.910 desa). Penyerapan DD tergolong fantastis. Tahun pertama terserap 82,72 persen dan tahun kedua 97,65 persen, di tengah situasi regulasi yang belum terlalu mapan, sosialisasi yang dikendalai waktu, dan persebaran desa yang sedemikian luas.

Kaltara Mmembuka Toko Perbatasan   

Pemerintah provinsi Kaltara selama ini terus berupaya dan mencari solusi agar harga kebutuhan pokok di wilayah perbatasan bisa lebih murah. Salah satunya, dengan rencana membangun TOKO INDONESIA yang nantinya akan menjual berbagai kebutuhan pokok masyarakat. Toko perbatasan yang rencananya tersebar di tujuh titik di wilayah perbatasan negara di Kaltara, diproyeksikan menjadi model dalam pembangunan kawasan perdagangan di perbatasan Indonesia. Konsep TOKO INDONESIA yang digagas adalah, terintegrasinya wilayah perbatasan dalam satu kawasan terpadu, mulai dari sektor ekonomi, jalur perdagangan, hingga hubungan antar negara yang berbatasan. Kepala Biro Pengelola Perbatasan Setprov Kaltara, Samuel Tipa Padan mengatakan, “gagasan ini asli Kaltara dan merupakan integrasi ekonomi perbatasan, dan belum pernah ada di wilayah perbatasan lain di Indonesia. Menurutnya, gagasan ini telah diamini oleh pemerintah pusat. Tinggal implementasi di lapangan.

Membangunan Perbatasan Berbudaya Papua
Membangunan Perbatasan Halaman Depan Bangsa

Toko Indonesia di Perbatasan tujuannya Untuk menjadikan produk Indonesia unggul di Perbatasan dimulai dengan upaya menekan harga barang yang selama ini cukup mahal di perbatasan. Saat ini, kebutuhan pokok masyarakat perbatasan masih bergantung dengan negara tetangga Malaysia. Hal itu dikarenakan akses mendapatkan produk dalam negeri sangat terbatas. Tetapi ke depan dengan adanya sarana jalan paralel perbatasan, adanya sarana jalan Tol Laut dan Tol Udara serta adanya “rencana subsidi untuk biaya transfortasi” maka di percaya produk Indonesia akan jauh lebih murah dibandingkan dengan harga-harga produk negara tetangga di perbatasan. Bahkan kualitasnya juga akan jauh lebih baik.

Sementara itu, menyangkut toko perbatasan ini, pemprov Kaltara telah mengadakan kajian teknis dengan tujuh wilayah yang telah dipersiapkan. Nunukan mengusulkan lima lokasi yakni Sebatik, Long Bawan, Long Layu, Sei Semanggaris, dan Lumbis Ogong. Sedangkan Malinau mengusulkan dua lokasi, yakni Long Nawang dan Long Pujungan. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kaltara, Hartono menambahkan, tujuh titik tersebut masih dikaji oleh Pemprov Kaltara. “Kalau sesuai rencana sebelumnya ada tujuh titik. Yang mana nantinya akan dikembangkan, itu teknisnya ada di PU (Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat),” ungkapnya.

Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie mengatakan pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 80 miliar untuk pembangunan empat TOKO INDONESIA di wilayah perbatasan RI dengan Malaysia pada 2018. Keempat toko Indonesia itu akan dibangun di Kabupaten Malinau sebanyak dua unit ditempatkan di Pujungan dan Long Ampung. Dua unit lainnya di Kabupaten Nunukan yakni Pulau Sebatik dan Lumbis Ogong. “Jadi ada empat unit toko Indonesia yang akan dibangun pemerintah pusat melalui Kementerian Perdagangan RI. Alokasi anggarannya sebesar Rp 80 miliar atau Rp 20 miliar per unit,”

Gubernur Kaltara menambahkan, pihaknya memprogramkan lima toko Indonesia namun anggaran satu unit yang sedang dibangun di Long Bawan Kecamatan Krayan berasal dari APBD Kaltara sebesar Rp 50 miliar. “Alokasi angaran untuk satu unit toko Indonesia di Long Bawan Kecamatan Krayan melalui APBD (Kaltara) adalah Rp 50 miliar,” kata dia. Irianto Lambrie menginginkan kelima toko Indonesia tersebut telah beroperasi pada 2018. Karena manfaatnya akan dirasakan masyarakat yang berdomisili di wilayah perbatasan RI-Malaysia

[1] https://finance.detik.com/infrastruktur/d-4165747/apa-kabar-proyek-pembangunan-jalan-di-perbatasan-ri-malaysia   [2] https://kalbar.antaranews.com/berita/347631/pengembangan-plbn-aruk-tahap-dua-rp201-miliar