Penyelesaian Konflik Batas Desa

Penyelesaian Konflik Batas Desa

Batas Desa merupakan pemisahan batas wilayah Administrasi Desa secara tegas di Lapangan.  Kejelasan batas wilayah tersebut menjadi patokan setiap wilayah dalam mengelola segala urusan administrasinya. Batas desa adalah salah satu contoh penegasan batas dalam skala kecil namun sangat penting, karena batas desa merupakan batas awal dimana akan mempengaruhi batas-batas lainnya seperti batas kecamatan, batas kabupaten dan Provinsi. Batas desa umumnya akan dapat diterima oleh semua pihak apabila didukung oleh dokumen otentik berupa peta batas daerah dan tanda fisik di lapangan barupa pilar tanda batas.

Pemerintah desa melaksanakan kewenangan masing-masing dalam lingkup batas daerah yang ditentukan, artinya kewenangan yang dilaksanakan oleh pemerintah desa tidak boleh melampaui batas daerah yang telah di tetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Permendagri nomor 45 tahun 2016 tentang edoman penetapan dan penegasan batas desa, disebutkan bahwa Batas Desa adalah pembatas wilayah administrasi pemerintahan antar desa yang merupakan rangkaian titik-titik koordinat yang berada pada permukaan bumi dapat berupa tanda-tanda alam seperti igir/punggung gunung/pegunungan, median sungai dan unsur buatan dilapangan yang dituangkan dalam bentuk peta. Penetapan dan penegasan batas Desa bertujuan untuk menciptakan tertib administrasi pemerintahan, memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap batas wilayah suatu Desa yang memenuhi aspek teknis dan yuridis.

Sumber konflik batas Desa yang paling sering terjadi adalah tumpang tindih kepemilikan atau penggunaan lahan pertanian (ladang, sawah atau kebun) antar desa dan kurang kuatnya hubungan antara kelompok masyarakat oleh karena sejarahnya. Sumber konflik lain adalah sumber daya alam yang bernilai tinggi, berupa batu bara, hasil hutan nonkayu, seperti sarang burung atau gaharu, dan potensi kayu. Karena mengharapkan keuntungan besar dari pemanfaatan sumber daya alam (misalnya, ganti rugi tanah atau fee) masing-masing pihak berusaha untuk mengubah kesepakatan letak Batas Desa sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Bisa juga dengan memanfaatkan ketidak tahuan dari desa tetangga. Misalnya sebuah desa mendaftarkan batas desa nya ke Kabupaten. Mestinya pihak Kabupaten harus terlebih dahulu menanyakan kesepakatan batas dengan desa tetangga kepada Desa yang akan mengajukan batas desanya.Pada kenyataannya sering lupa atau memang pejabatnya “kurang” menguasai persoalan. Dengan demikian batas desa jadi legal tetapi sebenarnya “cacat” secara hukum. Maka konflikpun terjadi.

Solusi Penegasan Batas Desa Bermasalah

Solusi untuk permasalahan seperti ini sebenarnya secara teknis tidaklah susah. Sesuai Permendagri No 76 Tahun 2012 tentang Penegasan Batas Daerah. Yang diperlukan adalah adanya Peta Kerja Kartometerik. Peta Kerja dalam metode Kartometrik ini adalah Peta kerja yang dapat menghasilkan kenampaan dua serta tiga dimensi terkait wilayah batas Desa pada peta kerja tersebut. Dengan kata lain peta kerja ini mampu menghadirkan kondisi lapangan yang sebenarnya secara tiga dimensi di ruang rapat sehingga para pihak dengan mudah melihat dan dapat menetapkan batas kesepakatan yang mereka inginkan.

Baca Juga  :  Kemiskinan Yang MengInspirasi

Apa sebenarnya Metode kartometrik itu? Mengacu kepada Permendagri No.76 tahun 2012, metode Kartometrik adalah penelusuran/penarikan garis batas pada peta kerja dan pengukuran  / peng hitungan posisi titik, jarak serta luas cakupan wilayah dengan menggunakan peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap. Dari pengertian ini, untuk penelusuran dan penarikan garis batas serta pengukuran dan perhitungan posisi (koordinat), jarak serta luas cakupan wilayah. Jelas untuk itu terlebih dahulu harus disiapkan peta kerja. Peta kerja ini dibuat menggunakan peta dasar  (peta RBI) sebagai acuan dan peta-peta atau  informasi geospasial lain seperti citra satelit, landsat, spot dll.,  sebagai pendukung.

Pekerjaan awal yang sangat penting dalam penegasan batas daerah secara kartometrik adalah menyiapkan dan membuat peta kerja  yang akan digunakan dalam pelacakan  untuk mencapai kesepakatan batas antara daerah yang berbatasan dan digunakan untuk menentukan koordinat titik-titik batas. Dalam hal peta dasar maka perlu tersedia peta dasar yang memadai baik dari aspek skala maupun ketelitian dan kebenaran informasi yang terkandung di dalam peta dasar tersebut.

Penyiapan dokumen terdiri atas dokumen yang bersifat yuridis  dan dokumen teknis. Dokumen yuridis  meliputi  peraturan perundang-undangan tentang pembentukan daerah yang bersangkutan dan dokumen lain yang berkaitan dengan batas wilayah administrasi yang disepakati para pihak. Dokumen teknis  meliputi peta dasar (peta RBI)  dan informasi geospasial lainnya (citra satelit, peta tematik) yang dijadikan sebagai dasar pembuatan peta kerja yang akan digunakan untuk pelacakan batas.

Peta Kerja Kartometrik ini memerlukan perangkat lunak seperti  : ESRI ArcGIS Desktop ; Global Mapper; Google Earth ;Spectral Transformer Tool Sets for Landsat-8 Imagery (GeoSage)

Proses Pengolahan  Citra dilakukan dengan tahapan Pre-processing , processing Citra  dan bahkan hingga analisisnya atau pelacakan diatas peta kerja. Secara sederhana bisa kita tuturkan bahwa pada proses ini terdapat tahapan pre-processing dan prosesing citranya sendiri, dengan langkah langah sebagai berikut; Loading image; Citra mentah (raw image) berupa format citra diproses secara digital geoprocessing (image processing), seperti, format bit (16 sd 32 bit), format data (Geotiff, BILL, BSQ dll). Kemudian di koreksi radiometrik citra, process untuk mengurangi efek kesalahan akibat radiometri, seperti haze atmosfer, kesalahan strip data image dll.

Kemudian dilakukan koreksi geometri citra yakni penyesuain sistem koordinat citra terhadap sistem koordinat nasional (WGS 84).  Metode yang dimaksud cukup dengan model image to map register, dengan peta RBI skala 1 : 5000  sebagai master correction. Karena diperlukan juga untuk kontrol vertikal (ketinggian), diharapkan juga citra terkoreksi terhadap data ketinggian. Data ketinggian yang dimaksud cukup menggunakan data SRTM yang memadai. Sehingga output citra final berupa citra yang terkoreksi baik secara horisontal maupun vertikal (Ortho Rectified Imagery).

Pada tahap Processing Citra, adalah prosesing pada citra yang sudah terkoreksi (ORI) dan itu dilakukan dengan tahapan lewat  Cropping image (ROI) sesuai lokasi kegiatan; Overlay data citra dan data kewilayahan; dan Analisis untuk updating segmen batas wilayah berbasis citra. Dalam tahapan pekerjaan prosesing Citra ini bisa mempergunakan berbagai Software terkait prosesing yang diperlukan seperti : Global Mapper 11, Argis 10.1, Google earth, Spectral Transformer Tools untuk Landsat-8 Imagery (GeoSage) dll.  Proses data citra didahului dengan melakukan Penggabungan (pembuatan Mosaik) peta RBI untuk seluruh liputan batas Desa yang akan di tegaskan Batasnya. Hal ini dilakukan dengan penyusunan liputan peta sesuai dengan nomor Lembar peta (NLP) dibutuhkan atau sesuai corridor batas.

Tahapan berikutnya adalah melakukan buffering terhadap segmen koridor batas yang dibutuhkan. Proses buffering dilakukan dengan memanfaatkan software misalnya dengan Argis. Proses ini dilakukan dengan mengikuti pemberian indeks segmen corridor batas sesuai kode wilayah sebagaimana yang diberikan oleh PPBW-BIG dan sekaligus akan menetapkan jumlah segmen koridor batas sesuai dengan ketentuan Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang telah ditetapkan. Dari proses buffering ini diperoleh sejumlah segmen koridor batas ( sesuai Peta segmen koridor batas).

Untuk memperkaya atau memperlihatkan lebih jelas keadaan lapangan yang sebenarnya, maka dilakukan proses pemodelan baik dalam 2 ataupun 3 dimensi yang dilakukan dengan memanfaatkan Citra yang ada. Prosesing ini lebih sederhana karena berbagai data citra yang ada sudah dalam bentuk jadi (matang), dengan demikian prosesnya lebih sederhana dan lebih cepat.

Penyelesaian Perselisihan Batas Desa

Secara teknis sebenarnya permasalahan Batas Desa tergolong sangat sederhana, tetapi persoalannya para pihak sudah datang dengan perhitungannya sendiri-sendiri. Masalah Batas yang sebenarnya bisa dengan jelas dapat dilihat pada Peta Kerja di Ruang Rapat serta bisa di cekkebenarnnya di lapangan, tetapi menjadi ruwet karena para pihak sudah terpola pikirannya. Apalagi sudah dapat masukan dari para pendukung yang juga punya kepentingannya masing-masing. Secara Undang-undang masalahnya juga sudah di atur dengan baik, kuat dan mengikat. Misalnya seperti pada. Permendagri No 76 Tahun 2012 yang pada intinya penyelesaian sengketa atau perselisihan batas bisa dilakukan diatas peta secara Kartometrik serta memberikan penekanan secara lebih tegas dan kuat kepada Pemda Provinsi ( Gubernur) sebagai perpanjangan tangan Mendagri di daerah. Revisi tersebut kembali memberi penekanan sesuai amanat penyelesaian perselisihan batas daerah sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 198, yakni :

Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kab/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud.

Baca   Juga   :  Membangun Tim Sukses Pilkada

Apabila terjadi perselisihan antar provinsi, antara provinsi dan kab/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kab/Kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final.. Juga ditegaskan jangka waktu dan mekanisme yang lebih jelas.

Secara tegas Permendagri No 76 Tahun 2012 memberikan arah yang jelas pada Penyelesaian Perselisihan oleh Gubernur, yakni terdapat pada Pasal 26 :

Gubernur melakukan penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dengan mengundang rapat bupati/walikota yang berselisih.

Bupati/walikota yang berselisih memaparkan kondisi riil wilayah yang dipermasalahkan dan melakukan pertukaran dokumen dalam rapat penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Gubernur membuat berita acara hasil rapat penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Untuk mengikat waktu permendagri No 76 tahun 2012 itu mengamanatkannya lagi pada Pasal 27 Yakni:

Gubernur mengundang bupati/walikota yang berselisih dalam rapat kedua paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah rapat pertama dalam hal tidak tercapai penyelesaian.

Gubernur membuat berita acara hasil rapat penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Diperkuat lagi pada Pasal 28; yakni :

Gubernur mengundang bupati/walikota dan Tim PBD Pusat dalam rapat ketiga untuk memfasilitasi penyelesaian perselisihan dalam hal tidak tercapai penyelesaian perselisihan dalam rapat kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.

Gubernur memutuskan perselisihan batas daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Apabila Gubernur tidak dapat mengambil keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur menyerahkan proses selanjutnya kepada Menteri Dalam Negeri.

 Pada Pasal 29 hal itu diperjelas lagi dengan :

Hasil penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 bersifat final.

Hasil penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk Surat Gubernur.

Surat Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi bagian dari penyusunan Peraturan Menteri tentang Batas Daerah.

Pada pasal 30 upaya mempercepat penyelesaian tersebut diperkuat lagi, lihat selengkapnya isi pasal 30 yakni:

Dalam hal ada pihak yang tidak hadir dalam rapat dan/atau tidak melaksanakan tindak lanjut hasil rapat, maka pihak yang tidak hadir dan/atau tidak melaksanakan tindak lanjut hasil rapat dianggap telah sepakat.

Di susul oleh Pasal 31, yakni :

Gubernur melaporkan hasil penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 kepada Menteri dilampiri dengan berita acara selesainya perselisihan yang ditandatangani oleh bupati/walikota yang berselisih.

Sebagai kata kunci pengikat waktu dapat dilihat pada Pasal 32

Penyelesaian perselisihan batas daerah antar kabupaten/kota dalam satu provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan paling lama enam bulan setelah rapat pertama penyelesaian perselisihan dilaksanakan. Tapi memang demikianlah tipikal perseleisihan Batas Desa, tidak berbeda dengan batas-batas lainnya. Susah di kompromikan dan hanya fokus pada kepentingannya sendiri-sendiri

Ketika Tugu Batas Di Geser
Ketika Tugu Batas Di Geser

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *